profesional Hot Indonesia di International (Bag. 1)

Ari Purmono:
Menjelajah Perbankan Timur Tengah
Setelah sempat merasakan dunia perbankan di Indonesia, pada 2005 Ari Purnomo mulai menjejakkan kakinya di industri perbankan Timur Tengah. Tepatnya, ia menjadi Direktur Pemasaran Retail Banking Group Mashreq Bank di Qatar. Setahun kemudian, kelahiran Jakarta, 12 Oktober 1973, ini hijrah ke Standard Chartered Bank regional office di Bahrain sebagai Head of Portfolio Management untuk produk-produk pinjaman (lending products) yang membawahkan empat negara, yaitu Bahrain, Qatar, Yordania dan Lebanon.
Dan, pada Mei 2008 Ari pindah ke bank terbesar ketiga di Timur Tengah, yaitu Samba Financial Group di Arab Saudi sebagai Asisten GM, membawahkan produk premium dan inisiatif strategis di departemen bisnis kartu kredit. Portofolio bisnis kartu kredit bank ini tak sedikit, yakni mencapai US$ 500 juta. Prestasi lulusan Fakultas Teknik Mesin Universitas Diponegoro Semarang ini tak diragukan lagi. Di Grup Samba, dalam kurun 1,5 tahun, ia telah meluncurkan produk segmented, yaitu kartu kredit khusus untuk para pebisnis atau entrepreneur segmen papan atas. “Grup Samba adalah salah satu bank pertama di Arab Saudi yang meluncurkan produk seperti itu,” ujar peraih gelar Master of Business Administration in General Management dari Universitas Swinburne, Australia, ini.
Bicara tentang karier, Ari berpandangan bahwa orang Indonesia umumnya selalu melihat jabatan (job title), bukan seberapa besar bisnis yang digeluti. Atau, kalau dalam istilah perbankan, seberapa besar revenue dan portofolio yang dikelola. Mashreq Bank, misalnya, adalah bank yang cukup besar di Timur Tengah. Namun, bank ini hanya membangun bisnisnya di Qatar. Waktu itu Mashreq Bank hanya memiliki lima cabang dengan pendapatan per tahun tidak lebih dari US$ 50 juta.
Sementara Grup Samba Financial, pendapatan per tahunnya mencapai US$ 1,3 miliar atau 26 kali lebih besar dari Mashreq Bank. Tentunya, dengan pendapatan dan portofolio yang jauh lebih besar, tantangan dan kompleksitas kerjanya juga akan jauh lebih tinggi. Lalu, profil karyawannya pun sama sekali berbeda karena harus punya pengalaman yang lebih. Contoh di Indonesia, apakah asisten vice president di Citibank Indonesia lebih rendah daripada vice president di Bank Kesawan? Tentu tidak. “Maaf, ini hanya contoh tanpa merendahkan Bank Kesawan tentunya,” kata lelaki yang pernah berkarier di Citibank dan Stanchart Jakarta ini.
Ari juga membandingkan soal etos kerja di wilayah tersebut yang berbeda dibandingkan dengan di Indonesia karena pengaruh budayanya. Hal itu terutama mengenai ritme kerja yang agak lamban, sehingga merupakan tantangan tersendiri apabila ingin mencapai suatu target dalam pekerjaannya. Situasi kerja di Indonesia, terutama di Jakarta, menuntut orang bekerja ektrakeras agar bisa survive. Tantangan tidak hanya dimulai di tempat kerja, tetapi saat ke luar pagar rumah, yaitu macet di jalan sudah menghadang. Belum lagi long working hour di kantor. Di tempat Ari bekerja, selain tidak ada macet, jam kerja bisa dibilang normal. Artinya, bekerja tidak sampai terlalu larut malam seperti di Jakarta. Selain itu, penghasilannya jauh lebih tinggi, sekitar 2-3 kali dari Indonesia. “Jadi as overall, ada balance life di sini dibanding di Jakarta. At least dalam case saya pribadi,” ia menegaskan.
Kendati demikian, Ari juga berkeinginan, suatu saat pulang ke Tanah Air. Apalagi dengan basis pengetahuan perbankan syariah yang ia miliki sekarang, dirinya ingin membangun perekonomian syariah di Indonesia, terutama di daerah, agar tingkat perekonomiannya bisa tumbuh lebih pesat. Hanya saja, semua itu tergantung pada perkembangan dan kesempatan yang ada. “Jadi, saya juga tetap tidak menutup kemungkinan untuk kembali berkarier di Indonesia, terutama di industri perbankan,” ujar peraih gelar Master of Engineering in Engineering Management dari Royal Melbourne of Technology Australia ini.

sumber : Dede Suryadi dan Darandono


wallahu 'alam bisshowb
Kebenaran datangnya hanya dari ALLAH

Comments