Bonie Erwanto:
Senang Tak Ada Diskriminasi
wallahu 'alam bisshowb
Kebenaran datangnya hanya dari ALLAH
Senang Tak Ada Diskriminasi
Bekerja di Malaysia bukan  perkara gampang. Maklum, citra orang Indonesia di negeri jiran tersebut  tidak begitu positif. Namun, Bonie Erwanto mampu mengatasi hal itu.  Bahkan, hanya dalam tempo kurang-lebih tiga tahun ia bisa mencapai  posisi bergengsi di Axiata Group Bhd., BUMN Malaysia, tepatnya sebagai Vice President Operational Excellence. ”Saya bersyukur sekali kemampuan saya dapat disamakan  dengan eksekutif lainnya dari Malaysia, US, maupun UK sehingga sangat  membantu saya secara individu dalam proses berpikir yang positif untuk  memajukan perusahaan,” ujar penyandang dua gelar master yaitu MBA dan Master of Accountancy and Financial Information  Systems dari Cleveland State University,  Amerika Serikat (1998 dan 1999) ini.  
Mantan konsultan di  Accenture ini memang memiliki kemampuan belajar yang cepat. Dari  Accenture, ia kemudian berkarier di XL Axiata selama hampir lima tahun  sejak 2002. Saat itu terjadi pergantian kepemilikan XL ke tangan Telekom  Malaysia (TM), dan ia pun bergabung dengan TM International. Posisi yang  didudukinya setelah pergantian ini adalah General  Manager – Programme Management (sejak  Oktober 2006). ”Saya masuk ke XL di business  process team. Di sini saya belajar otodidak dan mengeruk pengalaman di  industri mobile telco selama empat tahun sebelum  akhirnya mengepalai  departemen tersebut, dan diminta bekerja ke holding XL di Malaysia sampai sekarang,” ujarnya. Posisi sekarang  ia raih pada Mei 2008, dengan tugas utama memonitor kinerja,  memperbaiki operasional dan melakukan manajemen program. 
Kepercayaan yang diberikan kepada Bonie tak  meleset. Sarjana Teknik Sipil lulusan Universitas  Trisakti (1997) ini mampu menunjukkan prestasinya. Menurut Bonnie,  selama memegang posisi tersebut, ia telah mencapai sejumlah  keberhasilan. Sebutlah, pertama, pembuatan kerangka permanen  pengendalian/monitoring kinerja anak perusahaan Telekom Malaysia (sekarang Axiata  Group Bhd.) yang dimulai dari proses pelaporan sampai escalation/issue management ke level Board of Directors. 
Kedua, pengembangan  manajemen operasional di level produk, jejaring, layanan pelanggan, manajemen channel dan sistem  informasi di anak perusahaan, terutama pascaakuisisi. Ini mencakup tangible results (seperti  revenue generation di Bangladesh dan Indonesia) plus intangible results  (seperti proses manajemen dan sinergi sistem informasi di Kamboja dan  Sri Langka). Ketiga, pemingkatan kerangka permanen manajemen biaya di  seluruh anak perusahaan dengan cara mengarahkan program cost saving/optimisasi,  transparansi biaya,  benchmarking, kolaborasi di antara anak perusahaan dan integrasi sistem  informasi. 
Namun, hal ini bukan  berarti ia tak pernah menemui kendala selama bekerja di Malaysia.  “Malaysia dan Indonesia mirip budayanya. Komunikasi bisa jadi bencana  kalau tidak di-handle dengan baik,” katanya. “Waktu Axiata  masih bergabung dengan TM, banyak sekali program yang top-down.  Kami harus menelan bulat-bulat, tetapi dengan steering di level yang  tepat, bisa juga kami mengelaknya,” ia menambahkan. Itulah Bonie,  tak pernah kehilangan fokus dalam bekerja. ”So far strategi  saya simpel saja, right positioning in meetings/discussion and view  matters objectively, dan speak your aim in a big picture,”  ujarnya. 
Yang pasti, bagi Bonie keberadaannya sebagai  eksekutif di perusahaan pelat merah Malaysia memberinya sejumlah  pelajaran menarik. Antara lain, regional exposure, di mana ia  memiliki kesempatan mempelajari industri mobile telco di Asia  Tenggara. Ia juga bisa memonitor dan memajukan kinerja perusahaan.  Berikutnya, equality in decision making process, di mana ia  disamakan dengan eksekutif dari negara lain, dan learning English as  strategic communication. “Saya belajar banyak sekali dari  Malaysia,” katanya. (*)
Yuyun Manopol &  Darandono
wallahu 'alam bisshowb
Kebenaran datangnya hanya dari ALLAH
Comments