Profesional Hot Indonesia di International (Bag. 6)


Iis P. Tussyadiah:
Ingin Menjadi Pakar Teknologi Pariwisata
Menjadi dosen dan peneliti di luar negeri adalah impian banyak orang. Namun, hanya segelintir orang yang mampu menggapainya. Dan, Iis P. Tussyadiah adalah salah seorang yang beruntung itu. Ia mendedikasikan diri ke dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan di Jepang dan Amerika Serikat sejak 2006.
Saya ingin menjadi pakar di bidang teknologi pariwisata dan terus melakukan penelitian,” ucap Associate Director National Laboratory for Tourism & eCommerce, School of Tourism & Hospitality Management, Temple University, AS ini. Dengan jabatannya itu, Iis memiliki tugas mengajar program master dan doktor, adviser tingkat doktor, serta meneliti bidang pariwisata dan teknologi.
Sebelum hijrah ke negera yang kini dipimpin Barack Obama itu, Iis pernah menjadi asisten dosen dan peneliti di Universitas Tohoku, Jepang. Pekerjaannya itu dilakoni lantaran ia juga tercatat sebagai mahasiswa S-3 di universitas tersebut. “Lalu, di tahun terakhir studi, saya mengirim resume ke Temple University untuk mengisi posisi postdoctoral/ lecturer. Setelah satu kali wawancara, saya diterima dan harus mulai bekerja beberapa hari setelah ujian disertasi tahun 2006,” ia menerangkan. Iis menjadi dosen selama dua tahun, kemudian mendapatkan promosi sebagai assistant professor dan associate director di lab tempatnya bekerja.
Peraih gelar Master of Engineering, Industrial Engineering and Management dari Institut Teknologi Bandung itu mengaku telah mendapat banyak publikasi di jurnal internasional, juga best paper award dari beberapa konferensi internasional sebagai bentuk prestasi kerjanya selama ini.
Bagi Iis, untuk mencapai prestasi dan karier seperti sekarang, perlu perjuangan ekstra. “Kemampuan intelijensi saja tidak cukup. Namun, kita harus menunjukkan kepercayaan diri, asertif dan persuasif,” ia memaparkan kiat sukses meniti karier di Negeri Adidaya.
Iis mengaku dalam perjalanan kariernya di negeri orang, ia pun menghadapi banyak rintangan. “Awalnya, kendala bahasa dan budaya,” tuturnya melalui surat elektronik. Maklum, ia dibesarkan di lingkungan dan keluarga yang dituntun untuk bersikap tidak menonjolkan diri (humble), sementara salah satu kunci sukses di AS adalah perlunya menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi dan “menjual” kemampuan lewat presentasi riset. Solusinya, ia mengubah sikap menjadi lebih adaptif dan terbuka dengan tuntutan pekerjaan.
Menurutnya, bekerja di AS tidak hanya membuat ia lebih paham tentang bidang penelitian yang diminati, tetapi juga memberikan pengalaman bekerja dengan banyak pendidik dan peneliti dari berbagai negara dan latar belakang. Selain lebih terpacu untuk belajar lebih banyak, ia juga terdorong lebih mengembangkan kemampuan profesional dan sosial yang berkaitan dengan keberagaman, mutual respect dan etika.
Sampai kapan bekerja di luar negeri? “Belum tahu,” ujar Iis yang juga belum berencana pulang kampung. Yang jelas, ia tergiur mengadu nasib ke mancanegara lantaran bidang penelitian yang
cocok untuk peluang karier itu.
Eva Martha Rahayu/Darandono

Josaphat Tetuko Sri Sumantyo:
Pemegang Banyak Paten Teknologi Penginderaan
Prestasinya sangat mengagumkan. Associate Professor Center for Environmental Remote Sensing, Chiba University, Jepang ini tercatat sebagai penemu radar satelit untuk pengamatan permukaan bumi. Teknologi temuannya berbasis microwave remote sensing dan mobile satellite communications. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, begitulah nama lengkapnya, telah melahirkan sejumlah antena tipis mikrostrip untuk keperluan mobile satellite communications masa depan yang telah diuji dengan menggunakan Jepang Engineering Test Satellite (ETS-VIII).
Pria yang akrab dipanggil Josh ini dikenal getol berkarya. Karya terbarunya adalah circularly polarized synthetic aperture radar (CP-SAR) sensor yang bisa dipasang pada pesawat tanpa awak bernama Josaphat Experimental Aircraft JX-1 dan microsatellite untuk monitoring permukaan bumi di masa depan. Rencananya produk ini akan diluncurkan lima tahun mendatang. Sensor CP-SAR ini mengatasi kelemahan-kelemahan sensor observasi bumi atau penginderaan jarak jauh pendahulunya. Selain itu, sensor ini mampu menembus awan, kabut, asap, bahkan kelebatan hutan, serta tidak terganggu oleh pengaruh Faraday rotation di lapisan ionosfer dan perubahan posisi platform satellite.
Penelitian terbaru lainnya berupa teknologi untuk membuat antena dengan ukuran dua mikron untuk keperluan alat komunikasi dan medis masa depan, seperti radar yang sangat kecil, robot mikro, serta array antenna untuk pemindaian partikel darah dan pergerakan otot. Bahkan, pria kelahiran Bandung, 25 Juni 1970, ini sedang mengembangkan GPS SAR atau sistem radar imaging dengan menggunakan sinyal GPS untuk keperluan pemetaan permukaan bumi hingga pelacakan pesawat dan kapal siluman (stealth). Yang mencengangkan, karya-karyanya selama ini sudah terekam dalam bentuk paten di 118 negara, misalnya antena untuk pesawat, bullet train, roket dan smart car masa depan.
Penghargaan yang tinggi dan jaringan yang luas merupakan alasan peraih Ph.D dari Center for Environmental Remote Sensing, Graduate School of Science and Technology, Chiba University, Jepang (1999-2002) ini untuk berkiprah di luar negeri. Menurutnya, di negeri orang ia mendapat kesempatan dan kebebasan mengekspresikan karya ilmiah dan teknologi radar yang ia ciptakan selama 1997-1999 yang saat itu belum bisa diterima di Indonesia.”Bagi saya pribadi, umur juga merupakan sumber daya tersendiri, di mana ada kesempatan mengontribusikan karya original ke seluruh dunia sedini mungkin,” ujar penyandang B.Eng (S-1) dan M.Eng (S-2) dalam bidang rekayasa komputer dan kelistrikan dari Universitas Kanazawa, Jepang (1995 dan 1997) ini.
Josh mengakui momentum go global ia dapatkan ketika secara resmi diangkat menjadi pegawai negeri Pemerintah Jepang dengan posisi Associate Professor (permanent) di Center for Environmental Remote Sensing, Chiba University, Jepang pada 2005. Usianya kala itu 34 tahun. Saat itu ia diberi kepercayaan mendirikan Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory untuk pengembangan sensor-sensor penginderaan jarak jauh bagi dunia, khususnya Jepang. Tak tanggung-tanggung, ia mendapatkan dukungan dana sekitar US$ 2 Juta dari pemerintah dan sejumlah perusahaan Jepang.
Uniknya, meskipun belasan tahun menetap di Negeri Sakura, Josh tetap bertahan menjadi warga negara Indonesia. Alasannya, ”Saya dan keluarga mempunyai hak untuk membesarkan nama Tanah Air di dunia international lewat karya-karya only one keluarga kami,” ujarnya. Untuk itu, ia dan keluarga mengembangkan SDM di bidang hi-tech dengan mendidik langsung para mahasiswa program S-1 hingga S-3 yang berasal dari banyak negara, antara lain Prancis, Korea, Cina, Iran, Mongol, Kenya, Bangladesh, Yordan, Mesir dan Indonesia sendiri. Bahkan, ia menjadi visiting professor, adjunct professor dan head division di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjajaran, Universitas Hasanuddin dan Universitas Gadjah Mada. ”Perlu diketahui, saat mengajar di Indonesia saya menggunakan pendanaan dari uang pribadi,” katanya bangga. (*)
Yuyun Manopol & Sigit A. Nugroho

Taufik Manan:
Terinspirasi Teman Seprofesi
Perjalanan karier Taufik Manan di luar negeri dimulai dari Malaysia. Sejak 18 Mei 2009, dia dipercaya menjadi Señior Reservoir Geophysicist (SRG) di Petronas Carigali Sdn. Bhd. Tugasnya: mengevaluasi dan merekomendasikan pengembangan lapangan migas di offshore (laut) Peninsula dan Sabah.
Untuk posisi SRG di Departemen Petroleum Engineering Geosciences, ada sekitar 20 staf ahli dari Indonesia yang tersebar di setiap proyek tim Petronas Carigali. Di luar itu, ada bagian eksplorasi dan drilling yang banyak mempekerjakan karyawan kontrak asal Indonesia.
Meski belum genap setahun di Petronas, Taufik mengklaim telah mengantongi prestasi. Salah satunya: berhasil mengusulkan pengeboran sumur appraisal (penguji) lapangan gas laut Peninsula dan mengevaluasi konsep lapangan migas kecil untuk dikembangkan di Sabah. Pengembangan lapangan gas ini diharapkan mengalirkan gas ke Peninsula sekitar tahun 2018.
Taufik mengakui keberhasilan karier yang dicapainya terinspirasi dari para seniornya. Bermula dari dorongan kesuksesan yang diraih rekan-rekan seprofesi dan mendapatkan pelajaran bagaimana berkembang di negara lain itulah dia tergiur mengikuti jejak mereka.
Bagaimana strateginya bersaing dengan ekspat lain buat menempati posisi tersebut? Kiat yang diterapkan cukup simpel. “Loyal pada profesi, jujur pada semua tindakan, tetap menjaga silaturahmi dengan teman yang seprofesi, dan senantiasa mengambil pelajaran dari apa yang kami dapat untuk kemajuan di masa depan. Tentunya dengan dukungan keluarga dan bertawakal kepada Allah Swt.,” lelaki kelahiran Jakarta 15 April 1967 itu menguraikan.
Menurutnya, di era persaingan global ini, kandidat dituntut mempunyai keahlian dan pengalaman yang sesuai dengan standar internasional. Intinya: selalu mengerti dan mampu menjalankan prosedur standar operasional yang berkembang sesuai dengan tuntutan pekerjaan.
Bukan berarti, Taufik tidak menjumpai tantangan berat. “Kami dituntut menyelesaikan semua pekerjaan tepat waktu dan hasil yang maksimal. Setiap tenaga ekspat juga dievaluasi ketat secara berkala setiap 6 bulan dan harus menunjukkan performa kerja yang positif dan maju,” peraih gelar Master Geofisika Reservoar dari Universitas Indonesia itu menjelaskan.
Guna mengatasi permasalahan yang dihadapi, Taufik berusaha meningkatkan performa kerja. Dia mesti terbuka terhadap seluruh anggota tim dan bosnya, bersikap proaktif untuk menguasai pekerjaan dan tetap menjaga hubungan dengan rekan-rekannya, sesama tenaga ekspat, khususnya dari Indonesia.
Ya, sebagaimana berkarier di negeri sendiri, di luar negeri juga ada suka-dukanya. Dia bercerita, ketika terlibat dalam eksplorasi seismik pertama di Kamboja merupakan pengalaman mengesankan. Maklum, sebelumnya daerah ini dikenal sebagai “Killing Fields” era 1970-an. Sampai saat ini masih banyak daerah yang rawan ranjau darat sehinggga harus hati-hati dalam survei seismik. “Untunglah, atas dukungan banyak pihak, kegiatan ini termasuk sukses sesuai rencana,” tutur mantan karyawan Medco ini.
Target Taufik yang hendak dicapai adalah mendapatkan evaluasi secara komprehensif atas eksplorasi dan pengembangan lapangan migas di mana pun, termasuk Indonesia. Ingin pulang kampung? “Tunggu saja tanggal mainnya. Saya ingin menerapkan pengalaman saya untuk kemajuan di Indonesia, tapi perlu dukungan pemerintah dan lembaga terkait,” kata Taufik yang motivasinya bekerja di mancanegara karena lima pertimbangan: tantangan profesi, apresiasi, pengembangan ilmu, paket gaji dan tunjangan lebih menarik.
Eva Martha Rahayu/Darandono

Ketty Munaf Rosenfeld:
Raih Posisi Penting di Northeastern University
Kecintaan pada dunia pendidikan mengantarkan Ketty Munaf Rosenfeld menjadi orang penting di Northeastern University (NU), Boston, Amerika Serikat. Sejak 2006 Ketty menjabat sebagai Direktur Cooperative Education di universitas tersebut.
Posisi yang dipegang Ketty sejatinya posisi baru, yang menangani program untuk membantu mahasiswa NU agar dapat memiliki pengalaman kerja selama 6 bulan di berbagai perusahaan di sejumlah negara di dunia. “Waktu itu Presiden NU ingin agar para lulusannya bisa survive, tidak hanya di Boston, tapi juga di negara-negara lain di dunia,” ujarnya. Ketty sendiri berpendapat, perusahaan akan memperoleh hasil yang yang lebih baik jika memiliki tenaga kerja yang lebih bervariasi.
Ia mengaku menghadapi tantangan yang cukup banyak dalam pekerjaannya saat ini. Karena misi program ini adalah memberikan pengalaman internasional kepada mahasiswa, salah satu tantangannya adalah dalam hal pendanaan. Namun, ia bersyukur karena berhasil memperoleh beasiswa senilai US$ 500 ribu bagi program ini.
Pehobi menari ini juga sangat menikmati pekerjaannya sekarang. “Bagaimana tidak cinta dengan pekerjaan. Saya bisa dibiayai keliling dunia,” ujarnya bercanda. Dalam menangani program ini, Ketty memang dituntut bepergian ke beberapa negara. Dalam setahun, ia dapat melakukan perjalanan ke luar negeri 3-4 kali.
Selulus SMU Tarakanita, Ketty masuk ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Namun, ia hanya menjalani perkuliahan selama Juli 1979-Juli 1980. Alasannya, hukum bukanlah bidang yang benar-benar ingin ditekuninya. Hanya saja, bersamaan dengan kuliah hukumnya, ia juga kuliah di Jurusan Sastra Inggris IKIP Jakarta. “Kampus UI dan IKIP saat itu bersebelahan, jadi saya kuliah dobel. Wah sudah seperti orang gila deh, lari-lari kuliah di UI dan IKIP,” katanya mengenang sambil tertawa.
Namun, saat kuliah di IKIP, Ketty semakin menyadari bahwa di Indonesia belum ada jurusan yang dapat menjadikannya mampu mewujudkan mimpi: mendirikan sekolah internasional di Jakarta. Ia ingin membuat sekolah dengan sistem pendidikan Amerika Serikat. Maka, dengan semangat dan kecintaannya terhadap dunia pendidikan, Ketty pun berangkat ke AS dan melanjutkan kuliah di bidang pendidikan yang ia inginkan.
Ia memulai kuliah Elementary & Early Childhood Education di American University, Washington DC, pada Mei 1983. “Saya sangat beruntung, keluarga saya dapat membantu saya kuliah di Amerika,” ungkap wanita kelahiran Jakarta, 5 Oktober 1959 ini. Setelah memperoleh gelar bachelor of arts dari American University, ia pun melanjutkan kuliahnya ke jenjang master di Boston University, dengan studi Education in Bilingual Education.
Ibu tiga anak ini mengawali kariernya di AS sebagai guru SD, sambil menjalani kuliah master. Ia menjadi guru SD selama 1985-87. Setelah itu, karena anak-anaknya masih kecil, Ketty tidak bekerja, tetapi menjadi voluntir di Parents Teacher Association di sekolah anak-anaknya dan ia menjadi presiden asosiasi tersebut. Saat itulah ia belajar bahwa sekolah itu banyak didukung komunitas dan pemerintah setempat serta mendapat dana untuk kegiatannya.
Tahun 1994, setelah anaknya yang bungsu telah cukup besar, Ketty bergabung dengan NU sebagai asisten direktur. Saat itu ia membantu program home country placement yang didanai USAID. Program itu bertujuan agar mahasiswa Indonesia di AS yang telah lulus kembali ke Tanah Air. Ia membantu pelaksanaan program tersebut selama 1994-97.
Tahun 1997 ia masuk ke Departemen Carrier Service NU, membantu mahasiswa internasional di universitas tersebut agar bisa lebih kompetitif dalam bekerja di AS. Saat itu posisinya adalah sebagai carrier coach dan associate director. Dan, tahun 2006, Presiden NU menawari Ketty posisi sebagai Direktur Cooperative Education, jabatan yang diembannya sampai sekarang.
Dede Suryadi dan Kristiana Anissa

Yanuar Nugroho:
Berupaya 2-3 Langkah di Depan
Berkarier di negeri orang bukanlah impian Yanuar Nugroho. Semua mengalir begitu saja seperti air. Maklum, pria kelahiran Solo, 15 Januari 1972, ini datang ke Inggris untuk mengambil gelar Ph.D di Manchester Business School (MBS), yang menurut Financial Times merupakan sekolah bisnis nomor satu di dunia pada 2008 dan 2009.
Saya beruntung bisa menyelesaikan Ph.D saya dalam waktu kurang dari tiga tahun walau saya kerjakan paruh waktu karena disambi bekerja,” ujar lulusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung, 1994 ini. Barangkali karena prestasi itulah, Yanuar ditawari mengambil program post-doctoral tanpa seleksi. Program pascadoktor yang resminya 18 bulan itu akhirnya ia selesaikan hanya dalam 9 bulan. Lalu, pada Agustus 2008 ia diminta menjadi staf akademik dan riset tetap — disebut research associate — di Institut Kajian Inovasi MBS. Di institusi ini ia merupakan salah satu dari dua orang peneliti Asia, sisanya berasal dari 16 negara di Eropa dan Amerika Serikat.
Bekerja di luar negeri memiliki tantangan tersendiri bagi Yanuar. Tantangan terbesarnya adalah komunikasi. “Tak ada jalan pintas menghadapi tantangan ini kecuali dengan terus melatih diri. Saya pun belum maksimal saat ini dan masih harus terus belajar,” ungkap pendiri dan pemimpin Business Watch Indonesia, sebuah LSM, pada 2002 ini. Hal lain yang menantangnya adalah bekerja dengan rekan peneliti sejawat dan membimbing atau mengajar para mahasiswa yang berbeda latar belakang kebangsaan dan budaya. Menurutnya, mahasiswa dan rekan sejawatnya sangat kritis. Mereka tanpa ragu dan sungkan bertanya dengan pertanyaan-pertanya an yang tajam.
Lalu, apa kunci keberhasilannya? ”Saya mengikuti aturan main. Justru di situlah, saya kira strateginya. Yakni, memahami aturan main sedetail mungkin dan mencoba berada dua atau tiga langkah di depan,” ujar peraih gelar master di bidang information systems engineering dari University of Manchester Institute of Science & Technology, Inggris, 2001 ini. Misalnya, saat masih mahasiswa Ph.D, ia tahu bahwa posisi pascadoktor butuh persiapan data dan
metodologi. Karena itu, meski masih mahasiswa, ia menyiapkan data dan mengasah kemampuan metodologinya. Maka ketika ada peluang studi pascadoktor, mantan Direktur Akademis Universitas Sahid Surakarta ini merupakan satu-satunya calon yang siap saat itu dan ia mendapatkannya tanpa seleksi.
Ia punya pengalaman unik selama bekerja di sana. Suatu hari, salah satu perguruan tinggi di Tanah Air pernah menghubungi MBS dan meminta sebuah kuliah tamu untuk program pascasarjana. MBS menugasi Yanuar mengambil peran ini, karena bidang kajian inovasi dan pembangunan yang diminta tersebut merupakan keahliannya. MBS berpikir akan lebih efektif jika ia yang menyampaikan kuliah karena ia orang Indonesia. Apa yang terjadi? Perguruan tinggi di Tanah Air tersebut menolak dirinya. Alasannya, mereka butuh orang yang lebih pakar. Alhasil, yang berangkat ke Indonesia dan memberi kuliah adalah juniornya, yang untuk menyiapkan presentasinya masih butuh bantuan dirinya. “Entahlah, saya tidak tahu harus tertawa atau menangis melihat mentalitas kita yang seperti itu,” katanya.
Bisa jadi karena kondisi ini pula, ia tak ingin tergesa-gesa pulang ke Indonesia. “Barangkali 3-5 tahun ke depan,” ujarnya. “Jika saya pulang, atau dipanggil pulang oleh pemerintah, saya ingin mengabdi dalam penyusunan kebijakan iptek dan inovasi bagi pembangunan. Mudah-mudahan ada jalan.”(*)
Yuyun Manopol & Siti Ruslina

Judhi Prasetyo:
Ingin Bebas dari Korupsi
Ihwal ketertarikan Judhi Prasetyo bekerja di luar negeri sederhana saja: bebas dari korupsi. Dia ingin menjalin hubungan dengan mitra bisnis dan pelanggan lebih tulus dan tidak ada aksi suap. Cita-cita itu tercapai manakala bekerja di Singapura sebagai engineer tahun 1999.
Tidak kurang dari lima perusahaan di Singapura tempat Judhi menimba ilmu dan pengalaman sebelum direkrut Fortinet Incorporation sebagai Country Manager Singapura dan Emerging Market. Setelah tinggal di negeri jiran itu, dia merasa betah lantaran cocok untuk membina keluarga dan pendidikan anaknya. Saking enjoy-nya di sana, tidak terasa dia dan keluarganya telah menghabiskan waktu 9 tahun.
Tahun 2008, dia pindah ke Dubai, dipromosikan sebagai Manajer Channel Regional Timur Tengah Fortinet. Fortinet adalah perusahaan multinasional di bidang keamanan TI yang berpusat di Silicon Valley, Amerika Serikat. Judhi bertanggung jawab mengembangkan bisnis perusahaan melalui pembinaan kemitraan baik dengan end user maupun reseller negara-negara Timur Tengah.

“Sekarang keluarga kami juga merasa betah tinggal di Dubai dan mendapat banyak pengalaman berharga bisa berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia. Hebatnya makanan halal lebih mudah didapatkan di Singapura dan Dubai daripada di Indonesia,” ungkap profesional yang menapaki tangga karier sejak kuliah di Institut Teknologi Nasional, Bandung itu.
Tidak salah, manajemen Fortinet memutasi Judhi dari Singapura ke Dubai. Pasalnya, di Dubai dia berhasil mengukir prestasi gemilang. Dia mengklaim, pertumbuhan bisnis meningkat 80% dari tahun 2007 ke 2008. Di ujung tahun 2009 bisnisnya masih tumbuh di angka 52% dibanding tahun sebelumnya. Tak pelak, pertumbuhan pesat ini ikut memberi andil atas suksesnya initial public offering Fortinet di Nasdaq pada November 2009.
Pria yang pernah bekerja di berbagai perusahaan di Jakarta periode 1995-1999 dengan menempati berbagai posisi sebagai engineer dan manajer itu, mengaku, ketika bertugas di Singapura kinerja Fortinet juga memuaskan. Dia mencontohkan, tahun 2006-2008 pertumbuhan bisnisnya di Singapura naik 40%, sedangkan di emerging market mencapai 50%-70%.
Menurut Judhi, untuk memenangi persaingan dengan tenaga ahli dari negara-negara lain, tidaklah terlalu sulit. “Sebenarnya secara profesional, negara asal seseorang itu tidak terlalu dipentingkan. Justru yang utama adalah bagaimana kualitasnya dalam menyelesaikan suatu masalah dan menjalin relasi. Tapi, hal yang membuat sulit adalah karena saya pemegang paspor hijau/Indonesia, sehingga mobilitas lebih terbatas,” dia memaparkan. Akibatnya, dia beberapa kali gagal ikut meeting di Eropa karena tidak mendapat visa tepat waktu. Maklum, buat mengantongi visa Eropa, setidaknya butuh waktu dua minggu dan selama itu dia tidak memegang paspor. Padahal, dalam kurun waktu tersebut dia harus melakukan perjalanan bisnis ke sejumlah negara.
Selain soal visa, kendala yang dihadapi Judhi adalah budaya dan bahasa. “Tapi, masalah hampir selalu bisa dijembatani dengan membuktikan niat baik dan kejujuran,” tukas eksekutif yang berprinsip kerja keras, menjalin hubungan baik, amanah, jujur, plus tegas dalam bekerja di mana saja ini.
Judhi melontarkan beberapa pengalaman unik selama merantau di negeri orang. Misalnya beberapa pelanggannya tidak fasih bahasa Inggris, dia bisa minta tolong kolega buat membantu menjelaskan. Adapun benturan budaya misalnya, ada orang-orang dengan latar belakang budaya tertentu yang menggelengkan kepala artinya malah setuju atau mengerti, bukan sebaliknya.

Cita-cita Judhi ke depan: menjalankan usaha yang memberi manfaat sebesar-besarnya untuk umat manusia. Baginya, dengan memahami bahwa lain ladang lain belalang, dia belajar tidak selalu berprasangka buruk pada orang lain. Namun, pada saat yang sama, dia pun lebih berhati-hati dalam bertindak dan mengambil keputusan.
Eva Martha Rahayu/Darandono

Oki Gunawan:
Jagoan Fisika
di Pusat Riset IBM
Jika Anda membaca sejarah awal kehadiran Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) pada 1993, pastilah Anda menemukan nama Oki Gunawan. Maklum, dia salah satu dari lima siswa kita yang ikut Olimpiade Fisika Internasional ke-24. Dalam kompetisi tersebut, lulusan SMAN 78 Jakarta (1990-1993) ini meraih medali perunggu. Sejak itu, prestasi dan pencapaian terbaik di kancah internasional tampaknya selalu menjadi bagian hidup Oki.
Sejak 2007, peraih AT&T Leadership Award, Amerika Serikat (2000) dan IBM Patent Challenge Award dengan predikat Honorable Mention (2010) ini tercatat sebagai anggota staf IBM T. J. Watson Research Center yang berkantor di New York. “Tanggung jawab saya adalah meneliti dan menciptakan inovasi baru di bidang teknologi semikonduktor, salah satunya mengenai photovoltaic,” ungkap Oki. “Di sini, saya bekerja sama dengan sekelompok peneliti dengan latar belakang beragam,” lanjut peraih gelar Ph.D dari Princeton University ini.
Diungkapkan Oki, selain meneliti teknologi baru, ia harus banyak menghasilkan paten dan publikasi ilmiah. Saat ini ia sedang mengembangkan berbagai perangkat teknologi di bidang photovoltaic (sel tenaga surya). Menurutnya, setelah revolusi TI, bidang penting untuk kelangsungan dunia modern adalah energi terbarukan (renewable and sustainable energy) yang dalam hal ini bisa dijawab dengan teknologi sel surya yang baru.
Ia mengaku tidak mudah bisa bergabung dengan IBM Research. Ia menjelaskan, di AS hanya ada dua pusat sains dan teknologi terkemuka, yaitu: Bell Laboratory di New Jersey dan IBM Research di New York. “Saya masuk ke sini mulai dari posisi post doctoral staff,” ungkap penyandang gelar MEng. dari Nanyang Technological University, Singapura ini. Post doctoral staff adalah posisi staf junior yang baru lulus S-3 (syarat minimum) yang menjalani masa penjajakan, dan setelah lulus kualifikasinya dilanjutkan untuk menjadi staf peneliti permanen alias research staff member.
Bagi Oki, berkarier di kancah internasional memiliki banyak nilai plus. Pertama, perusahaan semacam ini memiliki staf internasional yang terseleksi dan terbaik di bidangnya. Interaksi dalam komunitas ini membawa ide-ide baru di bidang sains dan teknologi, yang secara otomatis membuka wawasan lebih luas. Kedua, dengan menimba pengalaman di sini membuka pilihan ke depan. Contohnya, jika yang bersangkutan ingin pindah atau ganti karier.
Menurut Oki, puncak karier bukan tujuan akhir, melainkan lebih sebagai by-product jika seseorang berkomitmen terhadap sesuatu. Yang pasti, dalam hal persaingan di bidang sains dan teknologi hanya ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni harus bisa menjadi the first and the best. “Mantra ini memang kelihatannya sangat tinggi tuntutannya, tapi memang kenyataannya begitu,” kata Oki.
Yuyun Manopol & Tutut Handayani

Yayan Irianto:
16 Tahun Berkarier di AS
Kemampuan di bidang teknologi informasi mengantarkan Yayan Irianto menjadi tenaga profesional selama 16 tahun di Amerika Serikat. Sekarang, ia berkarier sebagai konsultan senior Enterprise Resource Planning (ERP) di Accenture Technology Solution di Houston, Texas. Tugasnya adalah membantu klien mengimplementasikan software ERP untuk kebutuhan proses bisnis di perusahaan. Seperti saat ini, ia tengah membantu klien yang berlokasi di Los Angeles, California.
Bisa mencari nafkah di Negeri Abang Sam merupakan perjalanan panjang bagi lulusan Teknik Elektro Universitas Tirtayasa, Banten ini. Tahun 1998 ia melamar pekerjaan melalui Internet dan diterima di dua perusahaan: SAP Sydney Australia dan KPMG LLP di New York. Dengan berbagai pertimbangan, ia memilih perusahaan di New York. “Alhamdulillah, saat itu keluarga bisa dibawa sekaligus, saya berangkat dengan istri dan anak satu umur 3,5 tahun. Semua biaya ditanggung perusahaan,” katanya mengenang.
Jabatan pertama Yayan adalah konsultan yang membantu implementasi SAP di sebuah perusahaan di Houston. Kemudian, ia ditempatkan di perusahaan klien yang berlokasi di Miami, Florida, dan masih banyak lagi. “Pada dasarnya pekerjaan yang saya lakukan membutuhkan perjalanan ke lokasi klien,” katanya, “sehingga saya hampir selalu di luar rumah mulai Senin sampai Jumat.”
Setelah dua tahun, ia dipromosikan menjadi konsultan senior. KPMG tempat Yayan menggantungkan hidup kemudian berubah nama menjadi Bearingpoint, yang kemudian jatuh pada 2007 akibat krisis ekonomi di AS. Yayan pun kemudian hijrah ke Accenture Technology Solution hingga saat ini.
Menurutnya, untuk meniti karier di AS dibutuhkan keberanian yang cukup dan, tentu saja, kepercayaan diri. Pasalnya, ia melihat banyak orang Indonesia yang belum apa-apa sudah kalah sebelum bertanding kalau disandingkan dengan orang asing. “Percayalah, dengan bekal pengetahuan yang memadai dan kepercayaan diri, kita bisa jadi profesional di AS. Apalagi, karier di negara ini lebih jelas, penghasilan tidak dibeda-bedakan, latar belakang pendidikan tidak terlalu jadi pertimbangan utama. Yang utama adalah skill, skilll dan skill,” ujarnya memberi semangat.
Bagaimana perjalanan kariernya sebelum di AS? Setamat kuliah tahun 1994, Yayan bekerja di anak perusahaan PT Krakatau Steel, Krakatau Information Technology, sebagai programmer/develope r. Setelah itu, ia pindah ke perusahaan Australia yang sedang mengerjakan proyek SAP ERP di Krakatau Steel. Rupanya, itulah karier yang kemudian membawanya terbang jauh hingga ke Negeri Adidaya. Di perusahaan tersebut dirinya banyak mendapatkan pengetahuan baru, khususnya mengenai ERP.
Setelah dua tahun, proyeknya di perusahaan Australia itu selesai. Lalu, ia diterima di perusahaan kimia patungan Jepang-AS yang baru saja dibangun di kawasan Merak, Banten. Di perusahaan inilah, Yayan mendapatkan pelatihan resmi ERP, dan sempat dikirim ke Hong Kong dan Singapura. “Saya makin percaya diri dengan pengetahuan SAP ERP dan saran seorang konsultan, saya dianjurkan mencoba melamar ke luar negeri. Dialah yang mengajari saya bagaimana memanfaatkan Internet untuk mendapatkan pekerjaan di luar negeri,” ia menuturkan.
Saat itu (1996), Google belum lahir, ia memanfaatkan search engine seperti Altavista untuk mencari lowongan pekerjaan di luar negeri. Ia mengirimkan resume dirinya kepada lebih dari 50 perusahaan, baik langsung maupun ke head-hunter. “Berselang satu hari, banyak sekali orang yang menelepon saya, sungguh surprising,” ungkapnya. Dari situlah dirinya mendapatkan pengalaman, bahwa melamar kerja di negeri orang ternyata tidak serepot seperti di negeri sendiri. Wawancara dilakukan lewat telepon, bahkan kadang-kadang ia harus ke wartel untuk wawancara. “Itu pengalaman menggelikan,” ujarnya.
Sekarang, kendati bekerja di negeri orang, Yayan tak melupakan Tanah Air. Ia bersama teman-teman Indonesia yang bekerja di AS sudah membuat mailing list Komputer-Teknologi yang bisa dilihat website-nya di www.komputer- teknologi. net dan www.erpweaver. com yang bertujuan mencoba membantu meningkatkan SDM TI Indonesia, khususnya di bidang ERP. “Saya tergerak untuk mendidik putra-putra Indonesia untuk masuk dan bersaing, paling tidak bisa menghasilkan ahli ERP ini untuk pasar dalam negeri,” katanya. Dirinya pun mengadakan pelatihan secara online melalui Internet, dengan menggratiskan atau menawarkan biaya murah untuk memperdalam ERP ini. “Alhamdulillah, beberapa alumni pelatihan kami sudah ada yang diserap pasar kerja di Indonesia, bahkan di luar negeri,” ungkapnya bangga.
Dede Suryadi dan Darandono

Dion Sumedi:
Senang Bisa Belajar dengan Profesional Mancanegara
Bekerja di luar negeri memang impiannya. Karena itu, ketika bosnya menawari posisi di Filipina pada 2006, lelaki bernama lengkap Ali Permadiono Sumedi ini tak melewatkannya. “Dia menawari saya untuk join dengannya di Filipina untuk menangani persiapan mengambil alih kendali Coca-Cola bottler di Filipina, dari San Miguel Corporation menjadi bottler milik The Coca-Cola Company sendiri,” ujar penyandang B.Sc. di bidang finance dari University Syracuse, AS, ini.
Tak terasa, empat tahun sudah pria kelahiran Jakarta, 10 April 1971, yang akrab disapa Dion ini bekerja di Filipina, persisnya di The Coca-Cola Export Corporation Divisi Filipina. Perannya, di masa awal sebagai Manajer Proyek Transition Management Office merangkap Kepala Tim Key Accounts Transition workstream dan Supporting Transition Plan untuk Route to Market workstream. Dion menjelaskan, dalam posisi ini ia bekerja sama dengan perusahaan konsultan McKinsey mengelola proses kerja tim yang melakukan due diligence dan transition plan pada waktu ambil alih di Fipilina tahun 2007. Adapun sebagai kepala tim, anggotanya adalah orang-orang Coca-Cola dari berbagai negara di dunia seperti AS, Brasil, India, Australia dan Filipina. Kemudian, ia menjadi Direktur Regional Mindanao yang volume pasarnya hampir sama dengan Coke Indonesia. Dan, terakhir – yang diembannya kini — ia menjabat Direktur Inovasi Komersial yang bertugas mengelola proses inovasi di Coca-Cola System, Filipina.
Menurut penyandang gelar MBA dari Georgia State University Atlanta, AS (1995) ini, Filipina memiliki pasar yang bagus. Maklum, negara yang dipimpin Gloria Macapagal ini merupakan salah satu unit bisnis terbesar di dunia untuk Coca-Cola worldwide.
Dion mengaku senang dan sangat tertantang dalam menjalankan pekerjaannya sekarang. Alasannya, ia mendapat pengalaman bekerja sama dan belajar bersama profesional dari berbagai negara seperti AS, Australia, Meksiko, Cile, Kolombia, Brasil, India, Islandia dan Cina.
Mantan konsultan di Prasetio Utomo dan Arthur Andersen ini mengaku puas dengan kompensasi yang didapatkannya di Filipina. ”Kira-kira sama seperti ekspat-ekspat lain yang ditempatkan di luar negara asalnya,” ujar pria yang bergabung dengan Coca-Cola Indonesia sejak tahun 2000 dan memegang posisi awal sebagai Manajer Eksploitasi Informasi ini. Hingga detik ini ia mengaku belum tahu kapan akan kembali bekerja di Indonesia. ”Tapi, pasti satu saat memang kami akan kembali ke Jakarta,” katanya. (*)
Yuyun Manopol & Siti Ruslina

Ines Irene Atmosukarto:
Ikut Kembangkan Lipotek Australia dari Nol
Setelah menyelesaikan pendidikan S-3 di University of Adelaide, Australia, Ines Irene Atmosukarto pulang ke Indonesia dan bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Di lembaga ini ia terlibat dalam pembentukan usaha join ventura yang berupaya mengeksplorasi sumber daya alam Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan jenis mikroba endofitik. Eksplorasi ini diharapkan dapat menemukan bahan alami yang berguna bagi industri medis atau pertanian.
Dari situ, ia membangun jejaring dengan beberapa perusahaan bioteknologi di luar negeri hingga akhirnya ia mendapat kesempatan berkarya di Canberra Australia sebagai Chief Scientific Officer (CSO) Lipotek Pty. Ltd. yang dijabatnya sampai sekarang. “Saya sangat beruntung karena saya didukung oleh LIPI untuk memanfaatkan kesempatan ini,” ia mengungkapkan. Apalagi, Lipotek perusahaan yang baru berdiri, maka ia mendapat pengalaman yang sangat banyak karena terlibat dalam berbagai aspek hingga perusahaan itu berdiri, mulai dari riset dan pengembangan (R&D), properti intelektual, pendanaan hingga masalah regulasi.
Bidang kerja yang digelutinya sekarang adalah penelitian biomedis, khususnya pengembangan vaksin dan terapi imun untuk kanker dan penyakit infeksi. Sebagai CSO Lipotek, Ines bertanggung jawab atas semua kegiatan R&D, yang merupakan kegiatan inti lembaga ini sekaligus bertanggung jawab langsung kepada dewan direksi. “Karena Lipotek adalah perusahaan start up, maka saya harus fleksibel dengan tugas saya, Dan kenyataannya, saya juga harus mencari dana grant dari pemerintah ataupun lembaga donor, seperti Gates Foundation. Lalu menangani masalah paten, kerja sama dan pengembangan bisnis,” ujar Ines yang S-1-nya juga dari University of Adelaide, Australia.
Menurutnya, bidang bioteknologi/ biomedis yang ia geluti sekarang skala kerjanya bersifat internasional, sehingga persaingannya pun bertaraf internasional. Dan, kiat Ines dalam menghadapi persaingan itu adalah dengan melihatnya sebagai sebuah kesempatan yang harus dilalui dengan sungguh-sungguh. “Tanpa keberanian, kadang kesempatan itu bisa lewat begitu saja. Kesempatan itu datang pada saat yang kadang tidak kita sangka-sangka dan waktu untuk mengambil keputusannya tidak panjang,” tutur Ines, yang pernah berkesempatan mengeyam post doctoral fellowship di Amerika Serikat dengan dana dari UNESCO-L’Oreal tahun 2004.
Di samping kesempatan, tentunya ada pula tantangannya berkarier di luar negeri. “Tantangan terbesar tentunya jauh dari sanak keluarga. Kebetulan anak saya masih menyelesaikan SD di Jakarta. Jadi tantangan yang terbesar adalah berpisah dari keluarga,” katanya blak-blakan. Untungnya, teknologi Internet membantu dirinya dalam mengatasi tantangan ini. Juga, karena Ines membangun kerja sama dengan beberapa pihak di Indonesia, maka ia selalu ada kesempatan pulang secara rutin ke Tanah Air.
Ines bertekad memastikan Lipotek bisa tumbuh dan menghasilkan teknologi yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Umpamanya, ia hendak memastikan bahwa uji klinis vaksin/imunoterpi kanker melanoma yang sedang ia garap bisa terselenggara dengan baik. Ia juga berharap dirinya dapat terus membangun jembatan yang kuat antara Lipotek dengan berbagai instansi di Indonesia, sehingga dapat menghasilkan pengobatan yang berguna bagi masyarakat Indonesia khususnya.
Soal apakah saya akan tetap di luar negeri adalah pertanyaan yang tidak mudah bagi saya. Sejauh ini, saya sudah hidup di empat benua yang berbeda. Jadi siapa yang bisa memprediksi hidup ini akan membawa kita ke mana,” ungkap Ines mengenai prinsip hidupnya.
Dede Suryadi dan Herning Banirestu

Henricus Kusbiantoro:
Desainer Logo Kelas Dunia
Sebagai desainer merek, Henricus Kusbiantoro telah melahirkan banyak desain logo dan meraih sejumlah penghargaan internasional. Desain karyanya, antara lain, logo supremasi sepak bola Amerika Super Bowl 2011, The Emmy Awards, Samsung Beijing Olympics 2008, FIFA World Cup, Japan Airlines, Guggenheim Foundation dan Acura Automobile.
Penghargaan dari The Art Director’s Club New York, 365 AIGA, The New York Times dan Majalah Fortune merupakan pengakuan penting terhadap desain karya pria asal Bandung yang pernah berkenalan dengan mantan Presiden Peru Alejandro Toledo, sutradara film Steven Spielberg dan aktor Tom Hanks ini.
Henricus tak pernah menyangka dirinya bakal menjadi perancang grafis Indonesia pertama yang meraih penghargaan internasional paling berpengaruh: D&AD London Merit Award 2007. Penghargaan itu diraih berkat karyanya: logo kampanye internasional RED bagi penderita AIDS di Afrika yang dipelopori Bono dari grup musik U2 dan diresmikan di World Economic Forum, Davos, Swiss, pada 2006.
Kini Henricus bekerja sebagai senior art directordi Landor Associates yang berpusat di San Francisco, Amerika Serikat. Landor Associates yang didirikan tahun 1941 diakui sebagai pionir dan konsultan desain merek legendaris dan terkemuka di dunia. Karya-karyanya yang berupa desain logo telah banyak dipakai dan tersebar secara global, termasuk di Indonesia. Di tengah kesibukannya melahirkan karya-karya desain merek unggulan, Henricus juga tidak lupa membagikan dan bertukar informasi sebagai pengajar desain grafis di Program Master Desain Grafis Academy of Art University, San Francisco, dan pengajar tamu di berbagai institusi desain di AS, Kanada dan negara-negara Asia (termasuk Indonesia).
Dilahirkan di Bandung tahun 1973 dari keluarga sederhana, Henricus sempat mengenyam pendidikan dasar desain di Universitas Trisakti Jakarta (1992), sebelum akhirnya memutuskan menekuni bidang desain grafis di Seni Rupa Institut Teknologi Bandung di bawah bimbingan Prof. A.D. Pirous dan perancang grafis kawakan sekaligus kartunis Indonesia, Priyanto Sunarto.
Lulus dari ITB tahun 1997 dan diganjar Ganesha Award karena meraih predikat mahasiswa terbaik Seni Rupa ITB, ia memilih belajar sekaligus memulai karier pertama desain grafisnya pada mentor sekaligus desainer eksentrik Hermawan Tanzil, pemilik studio desain grafis terkemuka LeBoYe di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Di saat pecah kerusuhan Mei 1998, Henricus yang berangan-angan menjadi pengajar desain grafis di Jakarta memperoleh beasiswa paruh dari ASIA Help (IIE Foundation) untuk meneruskan pendidikan desain grafis di Pratt Institute Brooklyn, New York. Di kota ini, ia bertemu dengan Hwang Hyun Taik — kini guru besar Desain Grafis Universitas Hanyang, Korea Selatan. Pertemuan itu banyak mengubah arah jalan hidupnya. Henricus menerima usulan Hyun Taik untuk kembali belajar pada desainer legendaris AS Seymour Chwast dan Milton Glaser — pendiri Pushpin Studio dan perancang logo “I Love New York”.
Semenjak meraih gelar master dengan predikat highest achievementdari Pratt Institute, Brooklyn, di tahun 2000, Henricus langsung melamar untuk magang di biro desain grafis internasional, Chermayeff & Geismar, yang telah menghasilkan ribuan logo, antara lain NBC, Mobil, PBS, Pan Am, Xerox dan National Geographic.
Setelah magang selama tiga bulan, Henricus ditawari menjadi karyawan penuh sebagai desainer grafis junior di Chermayeff & Geismar hingga 2002. Selepas dari Chermayeff & Geismar New York, ia bekerja pada konsultan merek inovatif sekaligus kontroversial asal Inggris, Wolff Olins, di New York dan tergabung dalam tim kreatif inti yang membidani revitalisasi menyeluruh merek General Electric (GE) tahun 2004.
Kecintaan pada desain logo memberikan arah hidup yang lebih pasti dan berarti bagi Henricus. Ia jatuh cinta dan memilih fokus pada logo. Inilah yang mengantarkan dirinya menjadi desainer logo kelas dunia.
Dede Suryadi dan Herning Banirestu


wallahu 'alam bisshowb
Kebenaran datangnya hanya dari ALLAH

Comments