Melihat Peternakan Lobster



Kami berangkat bersama dengan tiga kendaraan menuju Serangan kurang lebih pkl. 10.15 wita. Tujuan kami adalah kantor Kelurahan Serangan, seperti yang sudah dijanjikan dengan Kades Serangan, Bpk. Poniman. Di kantor ini kami akan bertemu dengan 2 orang ketua kelompok penerima dana bantuan. Pak Kades memang berhalangan hadir hari ini.

Setibanya di Kelurahan, kantor terlihat sepi. Tak ada seorang pun yang tampak. Kami sempat bingung juga dan duduk menunggu di balai desa. Tapi tidak berapa lama muncul seorang pria yang meminta kami untuk mengikuti di belakangnya menuju tempat beternak lobster.

Kami pun tiba di daerah di mana jalan mobil bersebelahan langsung dengan laut. Tampak perahu dan jungkung tertambat di tengah laut. Lokasi ini tidak memiliki pantai, hanya ada tanggul yang membatasi jalan mobil dan laut. Air laut tampak tinggi dan berombak.

Segera kami memarkir kendaraan dan berdiri di sempadan jalan di pinggir tanggul. Angin terasa cukup keras dan dingin. Laut di tepi tanggul tampak cukup dalam. Kami melongok ke laut, lho mana kerambanya? Mana lobsternya? Tak tampak apapun di dalam laut.

Ternyata keramba berada jauh di tengah laut. Lumayan jauhnya. Kami harus naik perahu untuk dapat tiba di sana. Wah, asyik sekali. Kejutan! Siapa kira kalau acara ini dilengkapi dengan perjalanan naik perahu ke tengah laut.

Perahu yang akan mengangkut kami pun merapat ke tanggul. Perahu tersebut cukup besar untuk membawa kami semua beserta keluarga. Di sana sudah dipersiapkan tangga untuk memudahkan naik-turun penumpang. Satu persatu kami masuk ke dalam perahu. Suara teriakan anak-anak yang gembira membuat suasana sungguh menyenangkan.

Hanya sekitar 5 menit perjalanan perahu, kami sudah tiba di lokasi peternakan. Peternakan ini mengambang di atas air dengan bantuan tong plastik, lengkap dengan rumah untuk penjaga dan teras untuk duduk. Untuk beternak lobster, dibuat kolam-kolam berukuran 4 x 4 meter. Setiap kolam dibatasi dengan tong-tong plastik yang diatasnya diberi papan untuk jalan. Tentu saja semua tong plastik itu saling terikat satu sama lain agar membentuk suatu kotak. Satu keramba terdiri dari 2 buah kolam yang berdampingan. Di tempat yang kami kunjungi tersebut terdapat beberapa keramba.

Di dalam kotak dipasang jala yang membentuk kantong yang terendam air. Di tengah jala itulah lobster diternakkan. Peternak juga memasukkan pipa pralon berukuran besar sebagai tempat lobster berlindung. Jadi ketika pipa pralon itu ditarik ke atas dengan tali, tampaklah lobster besar-besar yang sedang tidur di sana. Menarik sekali!

Tapi untuk dapat melihat itu semua dengan jelas, kami harus berjalan di atas papan mengikuti pak ketua kelompok. Wah, ngeri juga, takut kecebur! Maklum orang kota, biasa berjalan di atas hotmix yang rata dan mulus, kali ini harus berjalan di atas papan yang terayun-ayun gelombang air laut. Erik harus menyerah duluan. Kalau yang normal saja jalan sambil gemetar, apalagi yang jalan dengan bantuan kruk. Adnyana tampak lincah berjalan di atas papan dan memotreti kami. Kelihatannya dia bekas pemain sirkus. Bobi memilih jongkok di tengah di antara kolam-kolam. Biarpun sudah pernah sampai di Aceh, masih takut juga dia sama laut!

Puas melihat lobster di dalam kolam buatan, kami pun beristirahat di teras yang teduh ditemani hembusan angin laut sambil berbincang dengan pak ketua kelompok yang ternyata bernama Bpk. Sutaya. Dengan sabar pak Sutaya menjawab pertanyaan bertubi-tubi dari Suryawan, Adnyana, dan Retno. Saya bertugas mencatat (bingung juga nyatetnya, nanyanya kayak mitraliur sih!). Lainnya bersantai menikmati angin laut sambil terkantuk-kantuk. Anak-anak bercanda riang.

Budidaya lobster di lokasi ini berkembang setelah adanya reklamasi pulau Serangan. Salah satu dampak dari reklamasi itu adalah terbentuknya teluk dengan air laut yang selalu pasang dan terlindung dari ombak besar. Ini menjadikan daerah tersebut area yang ideal untuk beternak lobster. Nelayan tidak perlu lagi membuat peternakan di tengah lautan, tapi cukup beberapa puluh meter saja dari daratan.

Budidaya lobster ini berkembang dengan pesat. Bahkan para nelayan di sini kewalahan untuk memenuhi permintaan pasar. Salah satu sebabnya adalah terbatasnya bibit lobster. Sampai sekarang belum ada pembibitan lobster, sesuatu yang memudahkan mereka untuk memperoleh bibit. Kebanyakan bibit dibeli dari para nelayan yang mencari bibit lobster di tengah lautan dan dari pulau Lombok.

Hukum ekonomi pun berlaku karena ketidak mampuan memenuhi permintaan ini. Harga lobster menjadi mahal. Harga jual dari nelayan saja sudah Rp. 300.000,-/kg, rata-rata berisi 10 lobster. Apalagi di pasaran! Yang jelas, harga satu lobster di Jimbaran lebih dari seratus ribu per ekor.

Puas berbincang, kami pun kembali ke perahu untuk menuju daratan. Adnyana dan Suryawan lalu menyelesaikan dokumen yang diperlukan bersama para ketua kelompok. Kami pun pulang dengan hati gembira karena mendapat pengalaman yang sungguh di luar dugaan.




wallahu 'alam bisshowb
Kebenaran datangnya hanya dari ALLAH

Comments