Bayangkan suatu situasi yang terjadi sekitar 40 tahun yang lalu. Seorang supir menyetir mobil, membawa majikannya ke tempat rapat. Setelah majikan didrop di pintu, sopir memarkir mobil di tempat yang sudah tersedia. Lalu sopir menghampiri seorang sopir lain yang datang lebih dulu. Disini terjadi momen kecanggungan. Mereka belum saling kenal, tapi ada dorongan dalam nurani keduanya bahwa mereka harus ada kontak. Bagaimana caranya mereka membunuh momen kecanggungan itu?

Setelah bersalaman, salah satu dari mereka akan mengeluarkan sebungkus rokok, atau satu pak kertas rokok dan sekantong tembakau. Dia akan menawarkan rokok itu pada sopir yang lain. Yang ditawarkan pada intinya adalah keinginan untuk membangun kontak bersahabat. Sopir yang kedua, walaupun dia sendiri punya rokok di kantongnya, tapi akan mengambil sebatang rokok dari sopir pertama. Sopir pertama akan membantu menyalakan rokok sopir kedua. Setelah satu dua isap, sopir kedua akan mengeluarkan komentarnya. Biasanya yang diucapkan adalah komentar yang bersahabat, biasanya menyebutkan aspek positif dari rokok tersebut. Lalu terjadi percakapan dengan topik rokok atau tembakau. Ini adalah pertanda bahwa momen kecanggungan telah cair.

Setelah itu, topik beralih ke mata cincin yang dipakai salah seorang sopir : sejarahnya, khasiatnya, warnanya. Lalu topik lain : pemantik api, misalnya.
Pada zaman itu, percakapan pembuka bagi laki-laki, baik itu sopir atau bukan, tidak jauh dari itu. Apakah ketika mengantri karcis di setasiun, ketika menunggu di loket PLN, mengantri di kantor pos, menunggu jam main di bioskop. Gadget yang bisa dibahas mereka belum banyak, tapi keinginan untuk bersosialisasi sangat besar.
Cuaca kadang dibicarakan kalau ketemu dengan orang dari kota lain.

<>

Sekarang beralih ke zaman sekarang. Orang-orang berkumpul, laki-laki dan atau perempuan, pada kesempatan rapat atau sekedar arisan. Faktanya, tubuhnya saja yang berkumpul di tempat yang sama, mulutnya sih bicara, padahal pikirannya ada di tempat lain. Bagaimana bisa?

Ini adalah ekses dari gadget masa kini : handphone.
Tidak ada jaminan bahwa orang-orang yang datang ke rapat adalah orang-orang yang cukup akrab dengan kita. Tidak ada jaminan bahwa orang-orang dalam rapat cukup kenal pada kemampuan kita. Tidak ada jaminan kita akan mendapat perhatian yang cukup dari orang-orang dalam rapat. Karena tidak ada jaminan … maka … kemungkinan besar kita akan mengalami momen kecanggungan pada rapat itu.

Kalau seseorang tidak mampu mencairkan momen kecanggungan dalam rapat itu, maka pelariannya adalah menghubungi seseorang yang dikenalnya dengan baik … lewat handphone. Seseorang itu … sayangnya ada di luar ruangan rapat, sehingga topik pembicaraannya pun bisa melenceng dari topik rapat. Bisa terjadi, semua peserta rapat bicara dengan orang lain yang ada di ruang lain, bahkan di gedung lain. Atau, semua sibuk bikin SMS.

Kalau ingin mendapat perhatian dalam rapat, biasanya orang memamerkan ringtone yang paling unik. Volumenya dikeraskan. Kalau beruntung, maka peserta rapat yang lain akan melirik ke orang itu dan tersenyum mengagumi keunikan ringtone tersebut.
Kalau ingin kelihatan penting, lewat SMS orang dapat meminta teman bisnisnya untuk menelpon segera. Telepon diterima tanpa dia meninggalkan ruangan rapat. Malahan volume speaker dikeraskan pula, agar isi pembicaraan terdengar orang lain dalam rapat itu. Setiap kata milyar diucapkan lebih keras agar terdengar oleh orang satu ruangan.
Jadinya rapat lambat selesai. Kecanggungan tetap menggayut di langit rapat. Waktu menjadi tersia-sia.

<>
Ketika suatu hari saya sedang jalan-jalan di Cibodas, ada SMS dari Nuniek (katakanlah begitu namanya). Setelah saling berbalas SMS, masing-masing mengirim lima, saya bertanya pada Nuniek :
“Kamu lagi ngapain?”
“Dalam perjalanan ke Bandung”
“Siapa yang nyetir? Bukan kamu kan?”
“Misuaku yang nyetir”
“Lha kamu bukannya ngobrol sama dia, kok malah SMS-an sama aku. Gimana sih.”
“Gak ah. Lagi bosen.”
Matik aku ….. kok saya jadi tempat pelarian.

<>
Di suatu jalan sempit, mobil-mobil berjalan pelan. Semua antri mengekor mobil paling depan yang berjalan pelan. Ketika ada kesempatan, saya menyusul mobil yang paling depan itu. Eee … alah … pengemudinya sedang asyik menelepon dengan HP. Lebih parah lagi, pernah saya lihat sendiri, pengemudinya sedang asyik bikin SMS.
Yang paling parah … tidak ada bandingannya … mengemudi motor sambil bikin SMS. Saya pernah melihatnya beberapa kali. Kalau mereka tidak takut celaka, tidak apa-apalah. Keselamatan mereka adalah risiko mereka sendiri. Tapi bagaimana dengan keselamatan orang lain? Adalah perilaku a-sosial jika mereka tidak memikirkan keselamatan dan kenyamanan pengendara lain.


wallahu 'alam bisshowb
Kebenaran datangnya hanya dari ALLAH

Comments