Hore,

Hari Baru!

Teman-teman.

Kita sering diingatkan bahwa selama masih hidup, maka roda kehidupan
masih akan terus berputar. Kadang diatas, dan kadang dibawah. Kita ingin
terus diatas. Namun, hidup memiliki kodratnya sendiri.Yang diperlukan
hidup dari kita bukanlah menghentikan perputarannya, melainkan berlari
bersamanya. Membawa roda itu menuju ketempat yang nilainya tinggi.
Sebab, ditempat yang tinggi, sekalipun bagian roda itu berada dibawah,
tetap saja dia tinggi. Jadi, jika kita bisa memberikan derajat yang
tinggi pada sang roda, maka berada dibagian bawah roda itu bukanlah
masalah. Melainkan, seperti melodi indah dalam simponi naik dan turunnya
irama sebuah orkestra. Itu hanya bisa terjadi jika kita terus berlari.
Sebab, jika kita berhenti, maka kita menjadi terdiam seperti mati.

Pagi itu, embun masih enggan untuk beranjak pergi. Menutupi rumput tebal
yang menghampar diseluruh permukaan padang golf yang menghijau. Hujan
semalam menyisakan sunyi. Juga dingin yang memanjakan. Sementara
burung-burung mulai sibuk bernyanyi tralala-trilili, tak seorangpun saya
temui dipagi buta seperti ini. Kesendirian memberi ruang untuk menikmati
semuanya tanpa ada yang menyela. Nyanyi riang para burung bergabung
dengan gemuruh deburan ombak dikejauhan. Bersama suara derak renyah dari
pergesekan antara alas sepatu dengan landasan semen disepanjang jogging
tract yang saya telusuri. Benar-benar damai. Begitu membuai hingga tanpa
terasa padang golf sudah berganti dengan bibir pantai yang terjal. Embun
bergulat dengan geliat sinar mentari, namun keringat disekujur tubuh
saya bercucuran tanpa kompromi. Tak ada dingin. Melainkan kehangatan
yang memenuhi hati.

Sesampai diujung terjauh tebing itu, kita tidak perlu berlari lagi.
Inilah ujung dunia itu. Tempat pertemuan antara muara sungai dengan
tanah dimana kaki berpijak, dan lautan yang mendeburkan suara ombak.
Tempat dimana kita bisa membenamkan diri didalam kedamaian. Tempat
dimana lagu laut bersenandung merdu merayu kita agar mendekat. Hingga
akhirnya berhadapan langsung dengan sang ombak. Berdiri diatas batu
karang kehitaman yang berdiri tegak. Terpukau oleh sisa-sisa air pasang
semalam. Terpikat oleh ikan-ikan kecil yang terperangkap disela-sela
genangan. Siput-siput terpaku dalam bisu. Dan rumput-rumput laut
menyajikan hamparan bak beludru.

Ketika saya melompat dari satu batu karang ke batu karang lainya,
tiba-tiba saja ada sebuah kesadaran baru. Ternyata, tempat saya berpijak
bukanlah benar-benar batu karang. Melainkan setumpuk kulit kerang yang
mengeras, melapisi permukaan batu karang itu. Lama-lama, saya menyadari
bahwa selama jutaan tahun alam telah menghidupi batu karang itu dengan
sisa-sisa kulit kerang. Lalu mereka memosil. Dan akhirnya menjadi bagian
tak terpisahkan dari struktur batu itu. Tapi, ada satu tanya nyaris tak
berjawab dibenak saya; 'Mengapa alam begitu rajin mengumpulkan kulit
kerang itu?' Dengan telaten membawanya ketempat itu. Dan teramat
terampilnya menata kulit kerang itu sebegitu rapi. Tetapi, benarkah
mereka melakukannya? Jika bukan, lantas siapa? Yang pasti, itu bukan
perbuatan ikan-ikan. Bukan tindakan ombak yang bercipratan. Bukan pula
nelayan. Siapa? Saya tidak tahu.

Semakin kuat memendam keingintahuan, semakin terkubur saya dalam rasa
penasaran. Formasi itu terlalu indah untuk diabaikan. Hingga akhirnya,
saya terdorong untuk mencongkel kulit kerang itu. Namun, tangan ini tak
kuasa untuk membongkar batu karang. Dia terlalu tangguh. Terlampau kokoh
untuk sekedar membuatnya goyah. Saya mencobanya sekali lagi, kali ini
menggunakan sebongkah batu. Namun, kulit kerang itu tidak hendak lepas
dari pelukan sang batu karang. Mereka begitu menyatu, hingga enggan
dipisahkan. Saya memukulkan batu itu terlampau keras ketika salah satu
kulit kerang terpecah. Padahal, saya ingin dia utuh. Bukan hancur
seperti itu.

Namun, penyesalan saya berubah menjadi ketakjuban. Ternyata, dibalik
kulit kerang yang pecah itu bersembunyi seonggok daging. Daging kerang.
Ternyata, kerang-kerang yang saya anggap hanya sisa-sisa sebuah
kehidupan itu sesungguhnya masih hidup. Ternyata, mereka bukan setumpuk
cangkang. Melainkan sebuah spesies kerang yang hidup dengan cara
menempelkan dirinya dibatu karang. Berapa lama mereka harus terpaku
disitu? Seumur hidup. Sejak lahir, hingga menjemput kematian.
Orang-orang di Bali menamakan spesies kerang itu 'kritip'.
Yaitu, kerang yang menyerahkan diri kepada batu karang. Dan mereka
menjadi bagian dari bertumbuh dan berkembangnya sang batu karang.

Saya tercenung. Memandang kearah laut yang teramat luas. Membayangkan
bahwa angin telah mengantarkan sang ombak untuk menjelajah seluruh
penjuru dunia. Mereka-reka bahwa para ikan sudah bepergian kesemua tepi
bumi. Dan para kura mengembara kemana-mana. Sementara para kritip, hanya
tinggal diam terpaku disitu. Tiba-tiba saja, saya menyadari, bahwa hidup
kita seperti kritip. Terpaku pada sesuatu yang kita anggap sebagai
kenyamanan. Menjadikan kita takut untuk menantang hidup. Meski seperti
halnya samudera luas itu, hidup sungguh menyediakan berbagai macam
peluang. Menyajikan banyak hal yang lebih baik daripada tempat dimana
kita berada kini. Namun, kita enggan meninggalkan kenyamanan ini dan
melintasi rintangan demi pencapaian kita yang berikutnya. Dan kita
mengatakan; "sudahlah, saya sampai disini saja". Sehingga sang
waktu yang telah menempuh perjalanan begitu jauh, hanya membawa kita
ketempat yang sama. Tidak. Kita tidak boleh seperti itu lagi. Kita harus
bersedia berhenti dari berhenti. Untuk kembali berlari. Dan terus
berlari lagi.

Tiba-tiba saja saya teringat tentang jebakan zona kenyamanan. Comfort
zone. Seolah tengah kembali diajarkan sang kritip. Dan begitulah pula
manusia pada umumnya. Ketika kita sampai kepada sebuah tempat dimana
kita merasa nyaman, maka kita menjadi enggan untuk beranjak dari tempat
itu. Sehingga, gagasan tentang 'keluar dari zona kenyamanan'
semakin terdengar seperti sebuah lelucon. Cobalah tengok, pencapain kita
hari ini. Apakah masih sama dengan yang hari kemarin? Berbedakah dengan
apa yang bisa kita wujudkan tahun lalu? Jangan-jangan, semuanya masih
seperti yang dulu-dulu. Kita memang ikut penjelajahan sang waktu. Namun,
kita hanya diam disitu. Padahal, hidup tidak pernah berhenti menawarkan
banyak hal baru. Seperti samudera yang bersedia membawa kita mengembara
keseluruh penjuru dunia. Tapi, karena kita terpesona dengan sang zona
kenyamanan, maka kita memutuskan untuk berhenti. Kemudian menyerahkan
diri, seperti sang kritip memasrahkan hidupnya kepada sang batu karang.
Hingga tidak jelas lagi perbedaan antara hidup dengan mati.
Sampai-sampai, kita ragu apakah kita ini masih hidup, atau sudahkah kita
mati.

Zona kenyamanan juga mengisyaratkan kita tentang memberi nilai kepada
hidup itu sendiri. Kita, merasa nyaman dengan perilaku-perilaku kita.
Meskipun itu buruk, namun kita enggan meninggalkan keburukan itu. Walau
tahu itu merugikan orang lain, tapi kita keberatan menghentikannya. Biar
itu merendahkan diri, kita meneruskannya juga. Hingga kita berani
berkata; "Mencari uang dengan cara curang saja sudah susah, apalagi
melakukannya dengan kejujuran?" Kita percaya bahwa ombak dihadapan
kita itu terlampau berbahaya. Jadi, kita memilih berdiam diri seperti
sang kritip. Kita percaya bahwa menjadi orang jujur itu menyusahkan
hidup, maka kita memilih terpenjara dalam kecurangan.

Memang, selama ini saya sering bertanya; mengapa orang tidak gampang
untuk sadar? Ternyata sebenarnya mereka sadar. Seorang pencuri, sadar
bahwa mencuri itu bukan tindakan yang baik. Seseorang yang mengambil
uang bukan haknya sadar bahwa tindakannya melanggar norma-norma.
Seseorang yang menindas orang lain sadar bahwa perbuatannya tidak
mencerminkan nilai luhur dirinya sebagai seorang manusia. Namun, kita
merasa bahwa tinggal selamanya dalam kubangan perbuatan-perbuatan itu
sebagai cara teraman, dan ternyaman. Sebab, dengan begitu kita bisa
mendapatkan banyak uang secara instan. Mudah. Dan melimpah. Sedangkan,
jika meninggalkan cara itu, dan mulai berenang didalam ombak;
tantangannya terlalu berat. Belum tentu kita bisa bertahan dalam terpaan
gelombang kehidupan itu. Jangan-jangan, kita akan mati tenggelam. Jadi,
mengapa kita harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan ini? Padahal, sang
kritip mengatakan; "Kamu akan mati, jika berhenti dalam kubangan
itu. Yang mati bukan dirimu. Tapi hatimu. Lalu hati itu memosil. Dan
kemudian mengeras, serupa kerasnya batu karang......."

Hore,

Hari Baru!

Catatan Kaki:

Kita mengira roda kehidupan ini terus berputar seiring beranjaknya sang
waktu. Namun setelah bertahun-tahun lamanya, ternyata kita masih disini.
Mungkin, inilah saatnya bagi kita untuk berhenti dari berhenti. Dan
kembali berlari.


wallahu 'alam bisshowb
Kebenaran datangnya hanya dari ALLAH

Comments